Kelabu di Ratu Jaya
Kelabu di Ratu Jaya
Selasa, 02
November 1993 pukul 07.05 WIB, KL3-8610X (rheostatik stainless steel) yang
melayani KRL Ekonomi tujuan Jakarta Kota dengan kondisi sarat penumpang
diberangkatkan dari Stasiun Bogor dengan tujuan akhir Stasiun Jakarta Kota.
Kereta tersebut terdiri dari delapan gerbong dan meninggalkan Kota Hujan dengan
kecepatan tinggi, lain daripada hari-hari sebelumnya. Suasana di dalam gerbong
terasa pengap karena banyaknya penumpang, ditambah pedagang asongan, pengamen,
dan pengemis yang hilir mudik mencari rejeki.
Pukul 07.18
WIB kereta berhenti di Stasiun Citayam. Biasanya kereta dari Bogor akan
berhenti lebih lama disini untuk bersilang dengan kereta dari Jakarta, karena
lintas Bogor-Depok pada kala itu masih menggunakan single track atau jalur tunggal. Namun entah mengapa PPKA
(Pemimpin Perjalanan Kereta Api) Stasiun Citayam tiba-tiba memberangkatkan
kereta tersebut.
Pada saat
yang bersamaan KL3-8410X (rheostatik mild steel) dari Jakarta tujuan Bogor yang
longgar penumpang tiba di Stasiun Depok. Sesuai prosedur yang ada, PPKA Stasiun
Depok memberi kabar kepada PPKA Stasiun Citayam bahwa kereta dari Jakarta akan
diberangkatkan terlebih dahulu untuk bersilang dengan kereta dari Bogor di
Stasiun Citayam. Segala prosedur telah dilakukan dan PPKA Depok pun
memberangkatkan kereta.
PPKA Citayam
yang sebelumnya telah memberangkatkan kereta kemudian sadar bahwa ia menyalahi
prosedur. Akhirnya ia berusaha menghentikan kereta yang terlanjur
diberangkatkannya dengan menumpang ojek motor. Terlambat, kereta sudah melesat
menuju tujuan yang tak akan pernah sampai. Kedua kereta tersebut dilepas
menyusuri jalur yang sama, berlawanan arah, dan tidak mengetahui bahwa maut
telah siap menjemputnya beberapa saat kemudian.
Pukul 07.25
WIB memasuki tikungan di Desa Ratujaya, kedua kereta pun bertemu. Masinis
kereta dari Jakarta, Adi Purnomo, segera melakukan pengereman darurat.
Sementara masinis kereta dari Bogor, Mohammad Junaedi, kesulitan mengerem
karena kereta yang dikemudikannya menjadi lautan manusia, ditambah ia
mengemudikan kereta dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.
Tak pelak
karena jarak yang sudah sangat dekat, ditambah kereta dari Bogor yang terlalu
cepat, akhirnya kedua kereta bertumburan antar kepala. Suasana Desa Ratu Jaya
yang pagi itu tenang berubah menjadi mencekam. Dua puluh orang termasuk masinis
dan kondektur dari kedua kereta tewas seketika sementara ratusan orang
luka-luka akibat terlempar dan terjepit badan kereta.
Menurut cerita salah seorang korban selamat yang mana beliau merupakan tetangga penulis sendiri yang tinggal di Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat. Beliau pagi itu hendak berangkat kerja ke kantornya di daerah Gambir, Jakarta Pusat dengan naik di kereta paling belakang kereta nahas tersebut.
"Saya ga dapat firasat apa-apa kalau hari itu kereta (yang dinaikinya) mau tabrakan, yang jelas itu kereta berangkat Bojong lebih ngebut daripada kemarin-kemarin.".
"Pas detik-detik sebelum tabrakan, saya lagi berdiri sambil pegangan di tiang deket pintu. Tiba-tiba keretanya ngerem mendadak, saya langsung mental ke depan sampe kepentok kursi.", kenangnya.
Akibat
kejadian itu, pemerintah melalui Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) pun membangun
jalur ganda lintas Bogor-Depok dan menambahkan peralatan telepon (radiolok) di
setiap kereta yang berfungsi untuk berkomunikasi antara stasiun atau pusat
kendali dengan masinis kereta yang bersangkutan.
Kecelakaan tersebut dikenal dengan nama "Tragedi Ratu Jaya" dan menjadi salah satu kecelakaan terburuk sepanjang sejarah perkeretaapian Indonesia, khususnya perkeretaapian Jabodetabek.
Komentar
Posting Komentar